Tak ada yang menarik, jika Anda tidak merasa tertarik

Kamis, 10 Februari 2011

Tragedi Cinta Jarak Jauh

Oleh : Hendy Yang

Aku tak biasa, bila tiada kau di sisiku

Aku tak biasa, bila ku tak mendengar suaramu

Aku tak biasa, bila tak memeluk dirimu

Aku tak biasa, bila ku tidur tanpa belaianmu

Aku tak biasa, aku tak biasa

Penggalan lagu "Aku Tak Biasa"—yang belakangan ini populer oleh Syahrini—tampaknya cocok menggambarkan suasana hati sepasang kekasih yang baru terpisah jauh.

Hidup menjadi tak biasa. Membayangkan, bola mata tidak mendapat pantulan langsung wajahnya dalam waktu lama pun sudah bikin merana. Apalagi hal tersebut benar terjadi. Wah, merananya hati. Rasa sepi menggenang di hati. Banjir rindu tak terbendung. Pikiran terus memanah ke arah "dia" yang jauh nun di pulau seberang. Detak jam menyiksa bagai cambuk romawi memberi bekas rindu tak tertahankan di hati. Kenangan kala dulu menjadi perenungan wajib setiap hari.

Sayangnya, pengalaman banyak berujar, "Itu tidak berlangsung lama." Ungkapan custom reconciles us to everything/kebiasaan akan membuat kita berdamai dengan segalanya tak boleh dipandang acuh. Remeh ungkapan itu, tradegi menimpa. Benang-benang asmara yang telah terhubung selama ini terancam usai tanpa berhasil disimpul dalam pernikahan.

Ungkapan "kebiasaan akan membuat kita berdamai dengan segalanya" merupakan momok yang harus diwaspadai dalam jalinan asmara berjauhan jarak. Ungkapan ini terdiri dari dua kata penting: kebiasaan dan berdamai. Kebiasaan merujuk langsung kepada waktu dan adaptasi. Waktu dan adaptasi akan menimbulkan nyaman bagi lingkungan yang mengitari. Nyaman menyebabkan "Gencatan senjata" yang berujung damai dengan "sesuatu" tersebut.

Pada awal jalinan cinta jarak jauh terjadi, pedih di hati memang terasa. Namun, pedih tersebut akan surut dalam waktu lama atau tak lama. Giliran hati beradaptasi. Adaptasi terdiri dari dua.

Pertama, adaptasi terus memupuk kasih, mendekatkan hati walaupun jarak menghadang. Walaupun jarak tak mengizinkan keduanya bersentuhan, sepasang sejoli ini terus bersentuhan. Bukan fisik. Kehidupan keduanya terus bersentuhan. Masalah-masalah dalam keseharian menjadi bahan cerita dalam setiap komunikasi. Cita-cita bersatu dalam pernikahan menjadi bahasan wajib. Bila adaptasi seperti ini terlaksana, alhasil jarak tak kan manjur memisahkan kedua sejoli ini.

Adaptasi kedua, adaptasi membiarkan hati terbiasa tanpa "dia". Komunikasi hanya sekadar ada. Kualitas perbincangan tak ada. Semakin jauh bumi berputar, semakin terbiasa untuk tak berkomunikasi atau tak berkomunikasi. Cita-cita pernikahan takut atau ragu untuk dibahas. Semakin lama, semakin takut dan ragu terasa. Semakin hari, keyakinan menyembunyikan diri.

Alhasil, hati malah menjadi tak biasa bila ada "dia". Sang doi yang semula dikasihi sepenuh hati kini hampir tak ada setengah hati. Juni di seberang meja kantor atau Joko tetangga sebelah malah semakin menarik hati. Tragedi pun menimpa. Hubungan usai bak balon pecah—hanya kenangan tersisa tanpa dapat dipakai untuk apa-apa.

Salah siapa? Tuhan tak merestui? Mungkin. Namun, pastinya, salah kedua (atau salah satu?) sejoli tak berbenah. Mengapa Memed dan Ana berhasil kala melakoni adaptasi tipe pertama? Tak semua bisa seperti itu? Saya yakin: tidak, semua bisa seperti itu. Hanya saja, tidak semua mau (berusaha) seperti itu.

Jadi, masalah sebenarnya bukan si jarak. Melainkan, sepasang kekasih tersebut. Hubungan jarak jauh hanyalah suatu perubahan lingkungan. Cara sepasang kekasih tersebut menjalani hubungan adalah sistem. Sistem selalu terikat pada lingkungan. Bila lingkungan berubah, sistem tersebut haruslah berubah—menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan tersebut. Bila ingin melalui lingkungan berbeda dengan sistem yang sama, nahaslah.

Jarak, memanglah oknum yang sering disalahkan kala asmara berakhir. Setiap pasangan yang harus berhadapan dengan asmara jarak jauh selalu takut pada si jarak. Namun, komitmen keduanya atau perjuangan keduanya yang sebenarnya paling perlu ditakutkan. Saat jarak menghadang, setiap pasangan punya 2 pilihan: berjuang terus sampai akhir atau membiarkannya mengalir sampai usai.

Setiap orang punya pilihan dalam menorehkan kisah asmara sampai disimpul dalam pernikahan. Kisah tersebut akan selalu diwarnai oleh pilihan liku jalan asmara. Salah memilih? Jangan salahkan Tuhan tak menghendaki.

Saya percaya, setiap orang yang mengalami asmara di hadang jarak jauh akan mengukir kisah indah sendiri bila berhasil melewatinya. Pengorbanan selama 2-5 tahun tak akan terasa berat bila membayangkan hidup bersama sampai maut memisahkan.***

Penulis adalah pemerhati sosial politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOTAK ADUAN KOMENTAR