Tak ada yang menarik, jika Anda tidak merasa tertarik

Sabtu, 05 Februari 2011

Cinta, Tubuh, Seks, dan Ilusi


Pada cukup banyak perempuan, cinta, seks, tubuh, dan ilusi berhubungan sangat kompleks, bahkan membuat sebagian perempuan seperti kehilangan kendali atas diri sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi?
Berikut surat dari gadis pandai, F (24).
”Mbak, saya telanjur berbuat jauh sama pacar saya, akhirnya telat mens. Untung ternyata saya tidak hamil. Setelah itu pacar saya menjauh. Meski begitu, saya tidak bisa melupakan dia. Hubungan kami terus berjalan, dengan pertengkaran melelahkan, juga diwarnai sikap, perbuatan, dan perkataan dia yang sangat sering menyayat hati.
Kami juga bertengkar karena dia menyukai teman wanitanya dengan alasan cantik. Ketika saya bilang, itu menyakitkan hati, dia malah menegaskan dengan bertanya berulang kali, ”Memang F merasa lebih cantik?” Bila kami berbicara dan dia tidak mau melihat wajah saya, saya jadi ingat perkataan itu.
Hati saya hancur, Mbak, terlebih ketika ingat betapa saya sudah memberi segala yang bisa saya berikan untuk dia, bahkan melakukan banyak dosa bersama dia. Bagaimana saya bisa menghilangkan rasa bergantung secara emosional, sementara saya tahu dia tidak menginginkan saya?
Saya membutuhkan afeksi darinya, sebagai motivator, dia penyemangat saya selama ini, tetapi bahkan dia melarang saya menghubungi dia. Saya bingung, Mbak. Tangis saya sering tak tertahan jika memikirkan hal ini. Di kantor, teman-teman kantor sampai bertanya apa yang terjadi.
Saya malu, Mbak, sedih, mengapa saya begitu lemah? Dia sudah memanfaatkan saya, bahkan secara seksual, dan kini mencampakkan saya. Mengapa saya tak bisa melupakan dia, tak bisa meyakinkan diri harus keluar dari siklus penderitaan ini? Apa yang harus saya lakukan?
Luka hati saya begitu dalam. Belum lagi jika ingat kekhilafan yang dulu pernah kami perbuat. Saya jijik terhadap tubuh sendiri.”
Kompleksitas seksualitas perempuan
Pembicaraan dengan cukup banyak perempuan yang mengalami kebingungan dalam relasi seksual menyimpulkan, sepertinya seksualitas perempuan sangat kompleks.
Perempuan sedari dini disosialisasi memerhatikan tubuhnya, seperti harus cantik, jangan gemuk, jangan terlalu kurus, dan jangan berjemur nanti jadi hitam.
Perempuan dituntut menjadikan dirinya cantik supaya menarik, (terutama) bagi laki-laki. Perempuan diajar melihat dirinya bukan sebagai ”subyek”, melainkan ”obyek”, yang dihasrati, yang diminati, yang harus memastikan laki-laki tidak berpaling. Dapat dimengerti, ada perempuan yang terobsesi ”menonjolkan tubuhnya” sebagai aset, mungkin ia tidak tahu sedang mengobyekkan diri sendiri.
Di lain, pihak perempuan juga dituntut menjaga dirinya tetap ”suci” dan setia saat suami tidak setia. Bahkan, kekerasan seksual sering dipersalahkan kepada perempuan yang dianggap ”mengundang”, ”bodoh”, dan ”naif” percaya begitu saja atau menyebarkan cerita bohong. Bisa dimengerti sebagian perempuan malah memilih menutup tubuh serapat mungkin karena merasa ”ada yang salah dengan tubuhnya” atau untuk memberi rasa aman bagi diri sendiri.
Bila berlebihan secara psikologis, ini kurang sehat karena tubuh manusia tidak mengandung dosa. Manusia, perempuan dan laki-laki, termasuk yang mengalami kecacatan, perlu dibantu menerima tubuh yang dikaruniakan kepadanya, merasa nyaman dan bahagia dengan diri sendiri dan karenanya dapat tampil wajar.
Dalam masyarakat kita yang menuntut ”kesucian” perempuan, tetapi tidak menuntut ”kesucian” laki-laki, konsep hilangnya keperawanan (=robeknya hymen) dapat sangat mengacaukan batin perempuan. Ajaran menjaga kesucian dan hubungan seksual pertama harus dilakukan dengan suami, menyebabkan sebagian perempuan seolah kehilangan diri setelah kejadian.
Pikiran rasional mungkin bilang laki-laki tersebut bukan orang baik dan tidak bertanggung jawab. Tetapi, batin yang kacau menyerobot dan berkata, ”Aku harus menikah dengan dia karena dia yang mengambil keperawananku”, ”Mestinya ia cinta, bukankah waktu itu ia sangat berhasrat akan aku?”, atau ”Siapa yang mau menerima bila tahu yang terjadi kepadaku?”.
Rasa berdosa dan hilangnya harga diri dapat membuat perempuan mengejar status legal dari laki-laki yang akan memperlakukan perempuan dengan buruk dan perempuan bernalar harus menerima situasi itu sebagai hukuman atas kesalahan diri.
Dapat dipahami, meski sangat disayangkan, berbagai penalaran ilusif kemudian berkembang. Untuk dapat bertahan dalam situasi sulit ia meyakini romantisme semu, seperti ”Ia pasti cinta saya karena sangat romantis”, ”Ia sering jatuh ke pelukan perempuan lain, tetapi akhirnya kembali kepadaku”, ”Ia tidak mampu bertanggung jawab karena dilarang keluarga”, atau ”Ini tugasku dari-Nya untuk membuat dia menjadi lelaki yang lebih baik”.
Menghormati diri sendiri
Bagaimana melepaskan diri dari ketergantungan yang menyakitkan dan mulai membahagiakan diri sendiri?
Tidak ada hal lain kecuali menghormati diri sendiri. Tidak ada orang yang sempurna. Apakah kita pernah melakukan apa yang dianggap masyarakat (atau diri sendiri) sebagai dosa, kita tetap manusia berharga.
Apakah perempuan utuh atau tidak hymen-ya, menikah, tidak menikah, punya anak atau tidak, mampu mempertahankan perkawinan atau ditinggal suami kawin lagi, dinilai cantik atau merasa bertubuh kurang ideal, ia manusia berharga.
Hubungan cinta seyogianya menjadi sesuatu yang membahagiakan dan menguatkan. Jadi, F yang muda dan pandai, untuk apa menyia-nyiakan masa kini dan masa depan dengan mengikatkan diri pada ilusi masa lalu?
Anda wajib menjaga, merawat, dan menyayangi diri sendiri. Bila membuka hati Anda akan mendapati masa depan membentang cemerlang, jauh melampaui apa yang Anda pikirkan sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOTAK ADUAN KOMENTAR