Tak ada yang menarik, jika Anda tidak merasa tertarik

Sabtu, 18 Desember 2010

Cara Kapitalis

Siapa pun yang ingin mengetahui apa yang
sesungguhnya terjadi di dunia, mesti segera membaca buku ini.”

Itulah komentar majalah Rolling Stone tentang buku
“The Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism” karangan wartawati
Kanada, Naomi Klein, yang diterbitkan Penguin Books, London, Inggris (2007)..

Buku setebal 558 halaman yang struktur kisahnya
rapi dan dinilai koran “The Observer” sebagai buah dari riset mahasempurna ini
menyingkap muslihat kaum kapitalis yang secara menyeramkan menggasak aset
negara, tak peduli jutaan orang mati dan jatuh melarat karenanya.

Para
kapitalis ini mengarsiteki sekaligus mensponsori kudeta-kudeta berdarah di
seluruh dunia, swastanisasi aset dan sistem pelayanan publik, krisis moneter,
merger dan akuisisi perusahaan pasca krisis, liberalisasi perdagangan, invasi
Irak, bahkan gerakan demokratisasi.

Selain mewujud dalam perusahaan-perusahaan
multinasional (MNCs), mereka mengotaki Dana Moneter Internasional (IMF), Bank
Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bahkan organisasi-organisasi bantuan
internasional seperti Badan Bantuan Pembangunan Internasional AS (USAID).

Mereka melekat pada lembaga-lembaga “think tank”
terkenal seperti American Enterprise Institute, Heritage Foundation dan Cato
Institute, sementara ruhnya bersemayam dalam sejumlah universitas Barat yang
menjadi tempat berkuliah para teknokrat negara berkembang yang belajar karena
biaya asing.

Kaum kapitalis ini tak peduli sebuah rezim zalim
atau tidak, demokratis atau tidak, korup atau tidak, yang penting menguntungkan
mereka, persis pepatah mantan pemimpin RRC Deng Xioping, “Tak penting kucing
itu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus.”

Kaum yang disebut Naomi neoliberal ini sangat anti
kepemilikan publik dan berupaya membuat pemerintahan di banyak negara lumpuh
sehingga merekalah yang sesungguhnya berkuasa atas negara dan sistem transaksi
sosial, ekonomi dan politik antar-bangsa.

“Saya ingin postur pemerintah dikerdilkan sampai
saya bisa menyeretnya ke kamar mandi untuk kemudian membenamkannya dalam bak
mandi,” kata Grover Norquist, pelobi kepentingan bisnis MNCs terkenal di AS sekaligus
pembela fanatik neoliberal.

Untuk mengerdilkan pemerintah, mereka mempunyai
modus, yaitu mengacaubalaukan negara dengan menciptakan situasi krisis sampai
kesadaran nasional negara itu hilang, terutama berkaitan dengan konsep dasar
pengelolaan ekonominya.

Negara itu lalu dipaksa menelan resep ekonomi
propasar dalam dosis tinggi nan beruntun, tak peduli rakyatnya bakal sengsara.
Hal terpenting, negara itu menjadi amat tergantung pada modal asing(kapitalis)
sehingga setiap saat bisa dieksploitasi oleh kaum kapitalis itu.

Metode membuat syok nasional sehingga negara tak
sadar telah dikuasai kapitalis ini disebut Naomi Klein sebagai “Shock
Doctrine.”

Naomi menganalogikan terapi syok ekonomi ini dengan
doktrin militer AS “kejutkan dan takutkan” (shock and awe) dan metode cuci otak
ala dinas intelijen AS (CIA), “kubark counter intelligence interrogation.”

Lewat “kubark”, CIA membunuh karakter manusia
dengan teknik interogasi mengerikan sehingga memori manusia hilang untuk
kemudian diganti karakter baru jadi-jadian, seperti dalam kisah trilogi
“Bourne” yang dibintangi aktor Hollywood,
Matt Damon.

Dalam format berbeda, para ekonom neoliberal
mengaplikasikan metode dekarakterisasi ala CIA ini ke tingkat negara dengan
membuat negara berada dalam suasana krisis, sehingga gampang dipaksa untuk
menelan resep kebijakan ekonomi prokapitalis yang formula dasarnya adalah
liberalisasi pasar, penghapusan subsidi, dan swastanisasi aset publik.

Penggagas terapi syok itu adalah ekonom Universitas
Chicago, Milton Friedman, seorang penentang intervensi negara dalam pengelolaan
ekonomi yang dulu disarankan ekonom besar pasca-Perang Dunia II, John Maynard
Keynes.

Friedman percaya bahwa perekonomian harus
diserahkan sepenuhnya pada pasar dan ia ingin dunia mempraktikannya tanpa kecuali.

Terinspirasi sukses Mafia Berkeley di Indonesia
akhir 1960-an dan junta militer Brazil pimpinan Castello Branco yang mengakhiri
ekonomi kerakyatannya, Presiden Joao Gullart pada 1964, Friedman membidik Chile
sebagai kelinci percobaan pertamanya.

Chile
awal 1970-an diperintah Salvador
Allende yang mengusung sistem ekonomi sosialis yang tak mengharamkan
kepemilikan swasta, namun mengharuskan negara melindungi kepentingan publik..
Ekonomi sosialis Chile berbeda dari komunisme, seperti diklaim AS, bahkan mirip
azas demokrasi ekonominya Mohammad Hatta di Indonesia.

Karena ingin menasionalisasi perusahaan asing, maka
sosialisme Allende itu lalu dipandang korporasi-korporasi multinasional asal AS
sebagai ancaman. Salah satu yang terancam, American Telephone & Telegraph
(AT&T), mendesak pemerintah AS untuk mencungkil Allende dari kekuasaannya.

Sebelum mendongkel Allende, AS mendidik
mahasiswa-mahasiswa Chile di
Universitas Chicago
di bawah asuhan Milton Friedman dengan tujuan mengimbangi popularitas para
ekonom sosialis pimpinan Pedro Vuskovic Bravo yang menjadi arsitek kebijakan
ekonomi Allende.

Untuk mengaburkan intervensi, pemerintah AS
bersembunyi dibalik Ford Foundation, yang juga mensponsori para mahasiswa
Indonesia berkuliah di Universitas California, Berkeley, pada 1956 hingga
menjadi teknokrat Orde Baru.

Para mahasiswa Chile yang dibiasakan mempelajari
ekonomi neoliberal ini disiapkan sebagai teknokrat pasca Allende.

Pada 1973, Allende akhirnya digulingkan oleh
Jenderal Augusto Pinochet dukungan CIA.

Selagi Pinochet menebarkan teror hingga rakyat
Chile syok dalam ketakutan, para ekonom Friedmanis menyuntikan resep
propasar(prokapitalis) dalam dosis tinggi hingga Chile terperangkap utang dan
kekuasaan asing.

Paparan Chile ini adalah awal cerita horor
pasar bebas yang menjadi isi utama buku yang disebut Dow Jones sebagai salah
satu literatur ekonomi terbaik abad 21 ini.

Horor berlangsung hingga era pemerintahan George
Bush yang disebut sebagai puncak kebrutalan pasar bebas hingga dunia pun muak
sampai-sampai Amerika Latin alergi dengan apa pun yang berbau Friedmanis
seperti IMF.

“Tuan-tuan, kami ini berdaulat. Kami ingin melunasi
utang kami, tapi maaf-maaf saja jika kami harus membuat kesepakatan lagi dengan
IMF,” kata Presiden Argentina,
Nestor Kirchner.

Sambil membopong diktator dan rezim sokongannya,
kaum kapitalis mensponsori para ekonom didikan kampus-kampus neoliberal untuk
menyiapkan karpet merah bagi kapitalisme dengan menyusun kebijakan ekonomi
reformis propasar, satu eufemisme dari kebijakan prokapitalis.

Afrika Selatan pasca-Nelson Mandela, Rusia di bawah
Boris Yeltsin, dan Polandia pasca-komunis adalah beberapa contoh.

Negara-negara yang semula khidmat mendengarkan
rekomendasi para ekonom reformis bimbingan Bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional (IMF) itu kemudian sadar telah dibohongi para ekonom dan birokrat
bimbingan Barat yang ternyata para calo swastanisasi negara.

Para penyusun kebijakan reformasi ekonomi tersebut
memang kerap berperan menjadi mulut korporasi asing, bahkan konsep kebijakan swastanisasi
Bolivia semasa Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada disusun para analis keuangan
perusahaan asing, seperti Salomon Brothers dan ExxonMobil.

Nelson Mandela adalah salah satu yang kecewa karena
cita-cita memakmurkan warga kulit hitam, seperti dipesankan Piagam Perdamaian
tak tercapai, justru karena orang dekatnya, Tabo Mbeki, menyusun kebijakan
pro-kapitalis sehingga mayoritas rakyat Afsel terpinggirkan.

Polandia juga menyesal mematuhi nasihat pialang
George Soros dan ekonom Jeffrey Sachs, seorang Friedmanis dari Universitas
Harvard, sehingga aset-aset strategis Polandia jatuh ke tangan asing, justru
ketika Partai Solidaritas memerintah negeri itu.

Demikian pula Rusia, yang kehilangan aset-aset
strategisnya setelah ekonom reformis Yegor Gaidar, seorang Friedmanis di bawah
bimbingan IMF, mempromosikan kebijakan propasar. Vladimir Putin kemudian
mengoreksi kesalahan itu, dan mengakhiri hubungan mesra Rusia dengan IMF.

Buku tersebut juga menyebut krisis moneter Asia
1997 sebagai hasil desain kaum kapitalis karena mereka ingin menguasai
aset-aset strategis di kawasan itu, mencaplok aset-aset perusahaan nasional
Asia yang tumbuh meraksasa, dan hendak menggulingkan rezim-rezim yang berubah
kritis, seperti Soeharto di Indonesia.

Menurut Naomi, di masa tuanya, Soeharto yang
pro-Barat itu bosan diperah korporasi asing, sehingga ia “berkhianat” dengan
membagikan aset nasional kepada kroninya yang berakibat korporasi asing itu
berang, lalu merancang pembalasan dengan membesarkan skala krisis moneter Asia.

Ketika Indonesia dan Asia akhirnya lunglai karena
krisis moneter, IMF datang menawarkan obat dengan syarat liberalisasi pasar,
sebuah formula klasik ala Friedman. Semua Asia menerima resep itu, hanya
Malaysia yang menampik formula rente itu.

Hanya dalam 20 bulan, perusahaan-perusahaan
multinasional asing berhasil menguasai perekonomian Indonesia, Thailand, Korea
Selatan, Filipina dan juga Malaysia lewat 186 merger dana kuisisi
perusahaan-perusahaan besar di negara-negara ini.

“Ini adalah pengalihan aset dari domestik ke asing
terbesar dalam limapuluh tahun terakhir,” kata ekonom Robert Wade.

Tak puas di situ, para kapitalis merancang serangan
ke Irak setelah Presiden Saddam Hussein memberi keleluasaan pada Rusia
menambang minyak di Irak.

Perusahaan-perusahaan minyak seperti Shell,
Halliburton, BP dan ExxonMobil lalu mengipasi pemerintah AS dan Inggris untuk
mencaplok Irak.

Namun, saat Irak sulit digenggam karena masalah
terlalu kompleks, negeri itu disulap menjadi lahan bisnis keamanan sehingga
para pedagang senjata, konsultan keamanan perusahaan di wilayah krisis, tentara
bayaran dan para spesialis teknologi keamanan mendadak bergelimang uang.

Kemudian, saat kaum kapitalis itu membutuhkan
relaksasi setelah penat berburu laba, maka sejumlah lokasi dibidik menjadi situs
wisata eksotis, diantaranya Srilangka.

Namun, para nelayan miskin yang mendiami
pantai-pantai indah Srilangka tak mau hengkang sampai tsunami menghantam Asia bagian Selatan pada 2004.

Bertopengkan bantuan rekonstruksi pascabencana dan
bergerak dalam kerudung USAID, para kapitalis menyandera pemerintah Srilangka,
agar “menukarkan” pantai indah Srilangka dengan bantuan tsunami. Situasi serupa
berlaku di Thailand dan New Orleans pasca-badai Katrina.

Intinya, kaum kapitalis telah membisniskan perang,
teror, anarki, situasi krisis dan bencana alam. Naomi Klein menyebutnya,
“kapitalisme bencana”. (ditulis oleh Oleh A. Jafar M. Sidik, antara)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOTAK ADUAN KOMENTAR