Tak ada yang menarik, jika Anda tidak merasa tertarik

Sabtu, 18 Desember 2010

BANGSA YANG SABAR ATAUKAH LEMBEK?

Politik tidak saja sebuah pertarungan untuk meraihkekuasaan, melainkan juga penantian yang menuntut kesabaran. Pemerintahan demi pemerintahan silih berganti, dan rakyat yang menjadi penyangga kekuasaan tak pernah berhenti berharap agar kehidupan akan berubah menjadi lebih baik.

Politik penuh dengan janji, meski janji politik tidak pernah memberi kepastian. Bahkan para pemimpin yang begitu pandai dan bersemangat meyakinkan massa dijang kampanye bahwa mereka bisa merubah dunia, ketika telah menduduki kursi kekuasaan baru menyadari bahwa peta pilitik sangat berbeda dengan medan dan teritorial politik. Masyarakat sangat mudah dirayu dan sangat muda untuk dibohongi akhirnya rakyat harus bisa menahan kecewa dan bersabar.

Para pemimpin menyadari bahwa masalah rill yang dihadapi ternyata lebih berat daripada yang bisa diucapakan dimimbar ketika menggalang ujung – ujungnya. Semua pemipin menyeru rakyatnya bersabar, menunggu keadaan menjadi lebih lebih baik tetapi yang jadi persoalan rakyat tidak tahu termasuk para pemimpin sendiri juga tidak tahu kapan keadaan lebih baik itu akan tiba?

Meski perbuatan menunggu sangat membosankan itu sangat membosankan dan melelahkan, namun masyarakat kita sejak dulu sudah terbiasa menunggu. Mereka menunggu datingnya masa dimana sandag, pangan dan papan mudah didapat , mereka menunggu hidup yang lebih bermakna daripada sekedar menanggung beban dan kesulitan, mereka juga menunggu lahirnya para pemimpin yang tahu isi hati mereka. Tapi, kapan pemimpin seperti itu akan dating? Pendekmya, dari dulu kita mudah dikondisikan untuk menunggu datangnya ratu adil guna meringankan beban derita yang ada. Lagi – lagi, ketika baying – baying surgawi belum muncul, orang sabar  itu dicintai tuhan, katanya.

Bayangkan, kita pernah bersabar dijajah bangsa lain selama tiga setengah abad. Pernah bersabar dikekeng penguasa bangsa sendiri selama setengah abad. Kesabaran masyarakat kita tampaknya memnag sudah teruji. Sekian banyak terjadi kecelakaan laut, darat, udara sampai semburan lumpur sidoarjo dan mengarops, rakyat kita masih tetap masih bisa berkompromi dengan penderitaan. Memang ada yang mulai ganpang naik pitam dengan membakar kantor bupati atau merusak kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena kecewa atau tidak puas dengan hasil pemilu. Namun, secara umm masyarakat kita tetaplah golongan orang –orang yang sabar serta hidup dengan harapan doa, meski sering dibohongi para polotikus.






Sejauh ini, politik tampaknya masih menjadi komoditas dan sumber pencaharian bagi kalangan elite, dan mereka juga enggan berbagi dengan masyarakat. Masyarakat hanya menjadi pemberi stempel. Rumusan klasik bahwa politik adalah “siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” tampaknya sedang dipraktikkan dinegri ini. Rumusan ini lebih banyak berbicara tentang actor politik, sementara konstituen politiknya sendiri diabaikan. Tidak mengherankan kalau dunia politik dipenuhi transaksi jual beli suara, dukungan, atau kandidat, layaknya pasar lelang.

Mestinya politik itu untuk menyejahterahkan rakyat, bukannya rakyat dieksploitasi untuk menyejahterahkan politisi. Jangan – jangan agenda pemekaran wilayah besar – besaran hanya untuk melayani pejabatnya akibat kalah bersaing, bukannya untuk memkmurkan rakyat. Jadi, seharusnya rumusan itu ditambah ”siapa mendapatkan apa, kapan, bagaimana, untuk siapa?” yang terakhir ini penting sebagai alat control. Sebab, tanpa mengetahui akan diapakan sebuah mandate kekuasaan oleh penguasa, kita serti oaring yang berjalan tanpa jelas yang jelas. Masyarakat tak ubahnya segerombolan domba yang dungu. Sungguh sangat sangat berbahaya bagi masa depan bangsa jika kepentingan banyak orang hanya dipegang dan dipercayakan kepada segelintir elite penguasa yang hanya berpikir untuk dirinya, keluarganya dan partainya.

Dari rumusan ‘siapa mendapatkan apa, kapan, bagaimana, untuk apa dan siapa?” diharapkan tumbuh kesabaran nilai, tentang mimpi sebuah bangsa, tidak semata berebut kekuasaan secara telanjang tanpa etika dan tanpa harga diri. Setelah lama kekuasaan berjalan tanpa panduan nilai luhur dan berakhir dengan tragedy, inilah saatnya untuk mengusung kembali nilai – nilai luhur dan mulia dalam perpolitikam kita.

Bukankah kekuasaan itu pada awalnya mulia, dan harus terus dimuliakan jika kita tidak ingin dihinakan dan menjadi budak kekuasaan? Tuhan sendiri menyifati dirinya sebagai penguasa (al malik). Namun, kekuasaan Tuhan selalu terkaitkan dengansifat rahimnya sehingga selalu memberi rahmat dan perlindungan kepada makhluknya. Dan manusia diberi kekuasaan oleh Tuhan sebagai khalifah dimuka bumi, menunjukkan bahwa kekuasaan itu mulia adanya. Karena itu, pertanyaan “untuk apa dan siapa” kekuasaan digunakan, menjadi penting karena para pemilik kuasa (penguasa) cenderung sewenang – wenang dengan kekuasaan ditangannya, sebagaimana telah diingatkan oleh Lord Acton, “power tends to corrupt…..”

Mempertanyakan arah kekuasaan bukanlah memonopoli kaum moralis. Demokrasi dalam dirinya mengandung meniscayakan untuk saling mengontrol atau mengawasi. Inipun tugas politik, bukan semata – mata tugas para pengkhotbah agama. Politk tanpa control dan etika akan menyebabkan terjerembap pada akumulasi kekuasaan yang berbahaya yang dalam pengalamanbangsa kitaberujung pada malapetaka dan merugikan semua orang.




Control atau pengawasan diperlakukan agar kekuasaan berjalan pada rel yang benar. Menurut agama, pengawasan tidak hanya dikaitkan ddengan kebenaran (tawashaw bi shabr). Artinya, control atau pengawasan terhadap kekuasaan bukan saja harus dilakukan untuk tegaknya kebenaran dan dengan cara yang benar (yaitu sesuai mekanisme demokrasi yang berlaku), namun demikian juga tidak boleh dipaksakan karena ada proses yang membutuhkan waktu yang lama.


Prinsip demokrasi mengajarkan kesabaran menunggu waktu lima tahun untuk mengganti para pemimpin dan wakil rakyat yang tidak kredibel. Penantian lima tahun memang bukan waktu yang sebentar. Namun, itulah dalil yang harus dijaga agar tidak mencederai dan menghancurkan demokrasi yang akhrnya menimbulkan presiden buruk bagi demokrasi dimasa depan.

Pemilu merupakan buah kesabaran karena semua orang dituntut menunggu dengan tertib, tidak boleh menyalib dan menelikung ditikungan. Kesabaran berarti orang harus siap kalah dalam kompetisi. Kesabara juga berarti kesabaran hati untuk memberi kesempatan kepada yang lain. Ibarat pepohonan, daun – daun tua meranggas, daun – daun muda tumbuh bersemi, begitulah dunia poltik. Adanya masanya orang Berjaya, namun perlu dicatat, kita mesti membedakan antara sikap sabar dan jiwa yang lembek. Kesabaran akan tumbuh jika seseorang memiliki visi dan cita – cita yang jelas, keyakinan yang teguh, dan tahu bagaimana mencapainya. Kalau itu semua tidak ada, maka seseorang atau bangsa bukannya sabar, melainkan lembek, tidak punya harga diri dan cita – cita yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOTAK ADUAN KOMENTAR